Besok genap saya berumur 30 tahun. Tidak terasa, karena kayak baru kemarin saya masih umur 19 tahun. Eh sekarang sudah masuk usia bapack-bapack muda.
Banyak orang bilang kalau saya masih kelihatan umur 20an awal. Hal ini karena wajah saya yang masih imut-imut sedep. Bukan sombong, tapi beginilah adanya. Saya bersyukur, namun kadang suka kesal. Gara-gara hal ini, seringkali para pemuda pemudi usia sekitar S1 agak ngelamak, mungkin karena mereka melihat saya seperti seangkatan dengan mereka. Lebih sedih lagi ketika manusia seumuran saya sudah seperti orang yang tua. Ditambah lagi para manusia yang lebih tua dari saya seringkali menganggap saya anak ingusan, tidak tahu apa-apa, dan tidak paham dunia. Padahal, saya hidup hampir 30 tahun ini juga bukan diem doang dan maen game di dalem kamar.
Sejujurnya, saya sempat punya gambaran, Usia 29 menjadi awal masa kejayaan diri, jadi dosen bergelar doktor yang mulai meniti karir, memperbanyak tulisan ilmiah, menerbitkan buku-buku yang bermanfaat, mulai membangun forum diskusi kecil-kecilan, menabung dan membahagiakan istri. Namun, karena satu kesalahan, semua sirna.
Kesalahan saya adalah terlalu menurut dan mengikuti arus. Seharusnya saya sadar bahwa arus yang mengalir tak selalu menuju tujuan akhir. Bisa jadi melalui lembah, hutan, yang entah bisa dilalui dengan mudah atau tidak. Seharusnya saya harus mampu berkata tidak dan berani menelan pil pahit saat berbeda pendapat dengan orang lain sekalipun orang yang dihormati. Seharusnya saya harus berani memutuskan untuk minggir dari arus yang tak jelas tujuannya. Harus berani bertanya jika tak tahu akan suatu hal, bukan mencari tahu sendiri sehingga memakan banyak waktu, sedangkan ujung-ujungnya tak kunjung dapat jawaban.
Kini, saya harus mengakui bahwa penggalan hidup saya selama studi master ini adalah serendah-rendahnya titik setelah meninggalnya ibu saya. Berbagai masalah dari keuangan, studi, bahkan psikis bercampur jadi satu. Tak jarang di antara tahun 2021 dan 2022, saya tak mampu menahan tangis yang tumpah akibat tekanan bertubi-tubi. Bagi orang mungkin ini hal biasa, tapi bagi saya, ini seperti dicambuk berkali-kali setiap hari. Badan tak terurus, wajah nampak kusut. Sesekali menatap langit-langit dan kipas angin kamar, dan berpikir, "Apa kuakhiri saja hidupku dengan menggantung leher di atas sana?". Usai Pernikahan, alhamdulillah masalah psikis lumayan teratasi, namun bukan berarti masalah lain akan sirna. Ujian demi ujian berdatangan terlebih masalah studi dan keuangan, sampai saat ini.
Lebih berat lagi masa-masa rendah ini ketika saya harus dihadapkan dengan banyak kondisi yang memusingkan. Jika akhir tahun ini saya masih belum lulus studi master, posisi saya sebagai dosen perjanjian khusus di UMM akan terancam, bisa jadi dikeluarkan. Bulan ini saja saya sudah tidak menerima gaji. Belum lagi saya yang tak kunjung bisa menuntaskan studi dengan segera karena satu dan lain hal seperti dospem yang mengarahkan untuk menambah data lagi, masukan dari senior yang mengharuskan saya merombak banyak hal di thesis, kerja-kerja analisa data yang melelahkan, banyak! Untuk bisa selesai di akhir tahun ini kok rasanya seperti sim salabim. Masalah ekonomi juga menguji keluarga kami. Saya, yang sudah mau masuk kepala tiga dan menikah tapi masih minta duit orang tua, nggak bisa apa-apa selain berusaha menuntaskan studi. Mau berusaha mencari uang juga selalu gagal. Entah apa penyebabnya. Sedangkan kebutuhan sangat banyak!
Oke! Cukup keluh kesahnya. Saya yakin anda sebagai pembaca akan benci sama saya karena saya cuma bisa mengeluh. Tapi serius, saya sedang tersiksa saat ini. Saya cuma bisa mengerjakan yang bisa saya kerjakan, memanjatkan doa, dan memohon ampunan karena perbuatan zalim saya, mungkin termasuk anda yang membaca ini, barangkali pernah saya zalimi.
Tapi, di balik permasalahan yang saya hadapi di titik terendah ini, saya bersyukur karena Allah masih sayang saya. Kalau tidak, ya sudah gantung diri aja dari dulu. Ini nikmat Allah yang luar biasa bahwa saya masih punya iman. Ada orang tua yang selalu mendukung secara moril dan materil di saat apapun kondisi saya, istri yang selalu setia, bersabar dan gigih dalam usaha mencapai cita-cita serta mempererat rasa cinta juga kasih sayang antara kami. Tak lupa juga orang-orang di sekitar saya yang selalu memberikan semangat, sahabat dan kawan, semua turut membantu. Masa iya sih saya malas-malasan dan mengecewakan mereka?
Sejujurnya saya ingin sekali momen masuknya diri saya ke umur 30 menjadi istimewa seperti bertepatan dengan usia 30, saya bisa menerbitkan sebuah artikel atau buku, tapi sepertinya belum mampu. Mungkin seminimal-minimalnya, saya bisa bikin tulisan ini. Tak ada yang membaca, cukup diri saya sendiri nanti di masa depan.
Akhir kata, selamat tinggal usia 20an, usia emas di mana manusia berada di masa produktif-produktifnya, masa-masa membara untuk menorehkan prestasi, masa yang dibanggakan oleh orang-orang apalagi yang mencapai title-title kehormatan di usia 20an, dan usia yang indah untuk menikmati cinta. Selamat tinggal! Semoga di usia 30an ini, saya bisa membayar kegagalan di masa lalu, dan bisa membanggakan orang tua serta membahagiakan istri dan diri saya.
Komentar
Posting Komentar
Komentarin ya! Saya seneng banget kalau dikomentarin. Terima Kasih :)