Hari Raya Ied merupakan salah satu momen penting dalam Islam. Ummat Islam di seluruh dunia bersukacita dan melakukan ibadah Sholat Ied yang hanya dilakukan dalam hari Ied di pagi hari. Kedua Hari Ied, Idul Fitri dan Idul Adha, selalu diwarnai dengan takbir yang menggema di mana-mana karena ummat Islam selalu mengumandangkannya di saat hari Ied. Takbir yang diucapkan dengan sepenuh jiwa, terlebih hanya dikumandangkan 2 kali setahun. Hari Ied juga menjadi saat terbaik untuk memperbarui niat, melapangkan hati dan pikiran, bermaaf-maafan serta silaturrahim. Akan kurang rasanya jika salah satunya tak bisa terlaksana karena memang saat yang tepat untuk hal-hal tersebut, juga merupakan cara mengungkapkan sukacita di hari Ied. Namun, ada hal-hal yang bagi saya kurang tepat sebagai cara untuk mengungkapkan kesukacitaan di hari Ied.
Menyalakan petasan bahkan sampai mengganggu warga bagi saya adalah salah satu cara yang kurang tepat dalam mengungkapkan sukacita dalam hari Ied. Tak banyak orang-orang di Indonesia menyalakan kembang api di malam takbiran, bahkan sebelum malam takbiran sudah mulai menyalakannya, hingga melupakan Sholat Tarawih. Hal ini kurang tepat karena selain menghambur-hamburkan uang, juga bisa membuat lalai. Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, karena terlalu asyik bermain petasan di malam hari, hingga lupa Sholat Isya, bahkan Sholat Tarawihnya. Terlebih, bunyi yang sangat berisik membuat orang lain yang sedang sholat dan beristirahat jadi terganggu. Pengungkapan kesukacitaan menjadi tidak wajar karena kesenangan tersebut menjadi pengganggu bagi orang lain serta media untuk menjadi lalai. Bukankah ini sangat disayangkan?
Selain itu, kerap kali setiap malam takbiran, tidak sedikit orang yang bertakbir namun diiringi dengan lantunan musik yang intonasinya lumayan tinggi. Hal ini mungkin terjadi di banyak tempat di Indonesia. Banyak yang berkeliling dengan kendaraan tertentu seperti mobil pick up, truk dan lain-lain dengan dilengkapi sound system berukuran besar, kemudian memutar musik berintonasi keras bahkan yang tidak ada kaitannya dengan nuansa Idul Fitri yang sangat religius. Itupun tetap diiringi dengan takbir. Bagi saya, ini sangat mengurangi esensi dari takbiran itu sendiri, yang sifat dari takbiran itu adalah mengagungkan Allah, mengingat Sang Pencipta dan bersyukur, justru malah sangat berpotensi mengarahkan pada kelalaian dan lupa pada Sang Maha Kuasa. Sebagai tambahan juga, sebenarnya saya juga kurang sreg dengan takbiran berlatar musik baik berbentuk audio maupun live. Sama halnya dengan yang dijelaskan sebelumnya, hal ini menurut saya dapat mengurangi inti dari bertakbir itu sendiri. Karena takbir itu adalah artinya membesarkan nama Allah, jadi, pengucapan takbir pun alangkah lebih khidmatnya jika dikumandangkan secara sederhana, tanpa latar musik bahkan iringan apapun. Dengan begitu, penghayatan akan kebesaran Yang Maha Kuasa akan lebih mengena. Justru rasa pendalamannya akan jauh lebih merasuk karena dikumandangkan secara sederhana tersebut.
Kesimpulannya, dalam ber-Ied baik ber-Idul Fitri maupun Idul Adha, lebih baik sederhana saja dan tidak diungkapkan dengan kesukacitaan yang berlebihan bahkan sampai mengarah ke hal yang bersifat lalai. Esensi pendekatan kepada Yang Maha Kuasa jadi berkurang, alhasil justru mungkin bisa menjadi percuma. Belum lagi jika dipandang dari perspektif tuntunan, apakah iya Rasulullah memberikan tuntunan untuk berlebih-lebihan dalam merayakan Idul Fitri dan Idul Adha? Sebagai masyarakat yang budiman, alangkah kita cari tahu bagaimana sebbenarnya dengan memperbanyak membaca dan berdiskusi dengan orang-orang di sekitar kita.
Menyalakan petasan bahkan sampai mengganggu warga bagi saya adalah salah satu cara yang kurang tepat dalam mengungkapkan sukacita dalam hari Ied. Tak banyak orang-orang di Indonesia menyalakan kembang api di malam takbiran, bahkan sebelum malam takbiran sudah mulai menyalakannya, hingga melupakan Sholat Tarawih. Hal ini kurang tepat karena selain menghambur-hamburkan uang, juga bisa membuat lalai. Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, karena terlalu asyik bermain petasan di malam hari, hingga lupa Sholat Isya, bahkan Sholat Tarawihnya. Terlebih, bunyi yang sangat berisik membuat orang lain yang sedang sholat dan beristirahat jadi terganggu. Pengungkapan kesukacitaan menjadi tidak wajar karena kesenangan tersebut menjadi pengganggu bagi orang lain serta media untuk menjadi lalai. Bukankah ini sangat disayangkan?
Selain itu, kerap kali setiap malam takbiran, tidak sedikit orang yang bertakbir namun diiringi dengan lantunan musik yang intonasinya lumayan tinggi. Hal ini mungkin terjadi di banyak tempat di Indonesia. Banyak yang berkeliling dengan kendaraan tertentu seperti mobil pick up, truk dan lain-lain dengan dilengkapi sound system berukuran besar, kemudian memutar musik berintonasi keras bahkan yang tidak ada kaitannya dengan nuansa Idul Fitri yang sangat religius. Itupun tetap diiringi dengan takbir. Bagi saya, ini sangat mengurangi esensi dari takbiran itu sendiri, yang sifat dari takbiran itu adalah mengagungkan Allah, mengingat Sang Pencipta dan bersyukur, justru malah sangat berpotensi mengarahkan pada kelalaian dan lupa pada Sang Maha Kuasa. Sebagai tambahan juga, sebenarnya saya juga kurang sreg dengan takbiran berlatar musik baik berbentuk audio maupun live. Sama halnya dengan yang dijelaskan sebelumnya, hal ini menurut saya dapat mengurangi inti dari bertakbir itu sendiri. Karena takbir itu adalah artinya membesarkan nama Allah, jadi, pengucapan takbir pun alangkah lebih khidmatnya jika dikumandangkan secara sederhana, tanpa latar musik bahkan iringan apapun. Dengan begitu, penghayatan akan kebesaran Yang Maha Kuasa akan lebih mengena. Justru rasa pendalamannya akan jauh lebih merasuk karena dikumandangkan secara sederhana tersebut.
Kesimpulannya, dalam ber-Ied baik ber-Idul Fitri maupun Idul Adha, lebih baik sederhana saja dan tidak diungkapkan dengan kesukacitaan yang berlebihan bahkan sampai mengarah ke hal yang bersifat lalai. Esensi pendekatan kepada Yang Maha Kuasa jadi berkurang, alhasil justru mungkin bisa menjadi percuma. Belum lagi jika dipandang dari perspektif tuntunan, apakah iya Rasulullah memberikan tuntunan untuk berlebih-lebihan dalam merayakan Idul Fitri dan Idul Adha? Sebagai masyarakat yang budiman, alangkah kita cari tahu bagaimana sebbenarnya dengan memperbanyak membaca dan berdiskusi dengan orang-orang di sekitar kita.
Komentar
Posting Komentar
Komentarin ya! Saya seneng banget kalau dikomentarin. Terima Kasih :)