Petasan Pembawa Petaka
Cerpen Karya : Kerta Ranggah Rajasa Jayawardhana
Cerpen Karya : Kerta Ranggah Rajasa Jayawardhana
Aku menyesali semua perbuatanku itu. Seandainya saja aku tak seceroboh itu. Andaikata aku bisa mengendalikan diri dan tidak gegabah dalam bertindak, semua tak akan berakhir seperti ini. Sungguh rasa penyeslan itu menghantuiku sepanjang waktu. Setiap detik penyesalan tersebut selalu terbayang-bayang di manapun aku berada. Pikiran itu membuatku tak tenang menjalani kehidupan. Setiap kali mengerjakan tugas pasti terbayang. Setiap kali selesai sholatpun terbayang. Air mataku selalu meleleh di pipi dan tak kunjung berhenti. Sulit bagiku untuk melupakannya karena semua ini salahku.
*****
“Sen, apakah kamu benar-benar mantap mau beli obat pembuat petasan di rumah Pak Supri? Aku serius lho. Karena kata Ayahku, Obat petasan itu jika tersentuh tangan sedikit saja bisa mengeluarkan suara yang sangat keras dan jika terkena anggota tubuh, pasti hancur. Aku jadi ngeri mendengarnya”, ucapku pada Sendy, teman sekelasku yang sedari kemarin ia bertekad ingin membeli obat petasan. “Mantap lah… Kalau aku beli obat petasan itu, aku bisa membuat petasan sendiri dan kujual. Dengan begitu aku bisa punya banyak uang dan aku bisa membeli apapun yang kusuka heheh”, jawabnya dengan penuh keyakinan.
“Apakah tidak dengan cara lain saja”.
“Nggak. Aku sudah yakin dengan niatku ini”.
“Sekali lagi aku Tanya, apakah kamu yakin?”
“Ya”, jawabnya singkat. Akhirnya, kami berdua beranjak ke rumah Pak Supri. Hanya beberapa orang saja yang tahu Rumah Pak Supri adalah tempat pembuatan petasan atau mercon. Dan kami tahu karena mendapat informasi dari seorang penjual petasan di pasar karena kebetulan si penjual petasan tersebut adalah teman kami. Dialah Jupri. Seorang yang mampu menghasilkan uang dua ratus ribu dalam seminggu hanya dengan menjual petasan. Apalagi omzetnya bertambah saat Hari Raya Idul Fitri atau hari besar yang lain. Lebih-lebih tahun baru. Pasti semua petasannya dari yang paling bagus sampai yang paling jelek sekalipun habis dijual orang. Hal ini membuat Sendy tertarik karena di rumah dia amat susah sekali mendapatkan uang jajan dari orang tuanya lantaran orang tuanya pelit. Bahkan, ayahnya sering pulang malam dan begitu pula ibunya jarang di rumah. Lebih-lebih Sendy tidak tahu apa yang dilakukan kedua orang tuanya tersebut. Yang jelas, setiap hari pasti ia melihat orang tuanya pergi saat ia sedang sarapan. Saat itu sarapan pasti sudah disiapkan dan makan siang ia membuat mie instan sendiri dengan nasi putih lalu makan malampun lagi-lagi dengan mie instan. Orang tuanya pergi tidak bersamaan. Ayahnya pergi dengan sepeda motor biasa dan ibunya pegi dengan sepeda motor matic. Dan Sendy, tak pernah tenang di malam hari karena tiap malam ia harus mendengar orang tuanya bertengkar melulu. Tiap hari tiada henti. Akhirnya, terpaksa ia berbuat sedemikian rupa.
*****
“Obat petasan itu sekarang sudah berada di tanganmu. Lalu, apa yang kamu lakukan setelah ini?”, tanyaku pada Sendy. “Begini, din! Aku punya rencana yang sangat bagus untuk memulainya. Kemarin aku pergi ke hutan di sebelah selatan desa. Lalu..”
“Selatan desa??? Bukannya di sana banyak ular berkeliaran”, tanyaku memotong pembicaraan.
“Dengarkan aku dulu…. Aku ke sana hanya survey tempat saja karena di sana nanti tempat aku mengetes petasan buatanku dan bunyinya pasti lebih keras dari petasan-petasan lain….”, ucapnya lugas.
“Wah… apalagi kalau kamu buat ledak-ledakan seperti itu pasti hewan-hewan banyak yang keluar karena tak tenang mendengar ledakan petasan buatanmu. Selanjutnya, mereka akan memakanmu sampai habis…”, ucapku menakut-nakuti.
“Aku tak takut”
“Ya.. terserah kamu sih.. yang penting pas kamu pergi ke hutan sana aku nggak mau ikut”
“Aku akan mencoba bunuh diri lagi kalau kamu nggak mau ikut nanti. Aku tak punya teman sekarang”, ucapnya menekan. Tiba-tiba kau teringat akan janjiku kalau aku akan menemaninya apapun keadaannya akrena ia tak punya teman sama sekali dan pernah mencoba bunuh diri tapi sempat kutenangkan dan bunuh diri ia urungkan.
“Huft.. okelah kalau begitu..”, ucapku sambil menghela nafas.
“Setelah survey, aku kemarin menemukan sebuah rumah tak berpenghuni di jalan setapak sebelum masuk ke hutan. Mungkin, di sana tempat aku membuat petasan nanti”, lanjutnya. Aku setuju saja karena aku takut ia akan kecewa dan mecoba bunuh diri lagi.
Hari berikutnya, ia datang ke rumah kosong kemarin dan bersiap memulai aktivitasnya membuat petasan setelah pulang sekolah. Dan pastinya aku harus hadir di sana juga mendukung niat dia membuat petasan. Aku tak berani menyentuh petasan tersebut karena takut terjadi yang tidak. Yah.. ketika ia mengajakku membuat bersama aku menolak dengan berbagai alas an. Untunglah ia tak banyak tanya jadi aku bisa menghindar dari pekerjaan berbahaya itu.
Hari sudah menjelang Ashar. Sendy sudah hampir membuat dua puluh petasan yang bisa berbunyi sangat keras. Hampir tak kupercaya. Tapi ia selalu membuatku kesal karena tiap kali ia kekurangan sesuatu dalam membuat, aku dipanggilnya dan disuruh mengambil sesuatu yang ia butuhkan. Jika tidak ada aku pasti dibentaknya. Hal itu terjadi berkali-kali sampai-sampai ia membodoh-bodohiku. Kesabaranku mulai habis. “Udiin.. ambilkan korek api… cepat..”, bentaknya dengan suara diangkat. “iya iya…. “, jawabku tergesa-gesa. “cepatlah bodoh… tolol kamu ini… goblok… cepaaattt….!!!”, ucapnya tak sabar. Aku bertambah dongkol. Perasaan aku membawa korek api tadi siang tapi aku lupa di mana aku menaruhnya. Saat kumasukkan tanganku ke kantong celana, barulah aku ingat kalau korek apiku ada di sana. “Wooiiiii…… bisa cepat nggak..?? bodoh…..”, teriaknya lagi.
Aku sudah tak tahan. Kesabaranku sudah habis. Karena korek api sudah ada di tanganku, spontang kulemparkan korek api itu kea rah Sendy seperti melempar bola tenis sambil berkata, “Ini korek api yang kamu minta, bodoh…”. Ucapanku tak sekeras apa yang ia ucapkan. Saat korek itu hamper mendarat di tempat Sendy, sempat terbesit rasa tak enak di dadaku. Lalu, korek itu mendarat tepat di petasan-petasan Sendy yang sudah dan jaraknya tak jauh dari tempat Sendy duduk. Seketika korek itu meledak sangat keras sekeras kerasnya sampai memekakkan telinga. Ledakan bertubi-tubi menghantam udara rumah kosong itu. Aku kaget setangah mati dan berteriak sekuat-kuatnya. Segera kututup telingaku dan membalikkan tubuhku seraya menelungkup ke bawah. Ledakan itu seperti ledakan bom yang kulihat di film-film. Pikiranku amburadul saat itu. Jarakku berjauhan dengan tempat duduk Sendy.
*****
Ledakan telah usai. Tinggal asap tebal saja yang belum hilang. Aku bangkit dari telungkupanku. Kubuka telingaku dan berbalik badan. Kulihat asap tebal masih berterbangan. Kuhampiri tempat Sendy duduk perlahan-lahan. Asap tebal membuatku tak bisa melihat jalan. Akhirnya, aku berhenti sejenak sambil merenungi bagaimana keadaan Sendy sekarang.
Asap sudah mulai hilang. Pandanganku tak terganggu lagi. Kulihat Sendy terbaring di atas lantai dengan bersimbah darah. Aku kaget bukan main dan segera kuhampiri dia. “Sen.. Sendy.. Kamu baik-baik saja kan?”, ucapku tergopoh-gopoh dan penuh rasa takut. Sekujur tubuhnya berlumuran darah. Kulihati seluruh tubuhnya. Ternyata seluruh jari kakinya telah teripsah dari kakinya dan perutnya terbuka. Usus terlihat keluar dan rahang bawahnya terlihat. Ih.. aku ngeri bukan main. “Sen.. sen.. jawab aku…”, ucapku sambil menggerak-gerakkan bahunya dengan kedua tanganku.
Tiba-tiba terdengar jawaban darinya. “Din… kalau kamu marah kepadaku, aku minta maaf, ya! Aku telah banyak menyusahkanmu. Sampaikan salamku ke orang tuaku. Kamu tidak bersalah. Merekalah yang bersalah. Aku yakin dengan ini mereka sadar kalau mereka punya anak yang harus di sayangi bukan malah ditinggal pergi dengan orang lain dan berbuat zina… makasih din.. makasih…”, rintihnya. “Sen.. sen.. kamu nggak boleh mati… maafkan aku.. aku terlalu gegabah tadi.. maafkan aku…”.
“Iya.. aku maafkan kamu… aku sengaja berbuat demikian… aku ingin cepat mati sebenarnya karena aku tak kuat menahan ini semua…”
“Jangan.. jangan mati.. kamu masih punya harapn dan masa depan.. jangan.. “, ucapku sambil menangis dan terisak-isak.
“Sudahlah, Din.. inilah takdirku.. Selamat tinggal, Din.. aku ingin istirahat… jaga dirimu baik-baik…”, ucapnya untuk terakhir kalinya lalu ia memejamkan matanya perlahan dan meninggal. Nyawanya tak tertolong. “AAAaaaaarrgghhhhh…. Sendyy……… tidak…….”. Teriakanku menembus keheningan rumah kosong itu. Aku menangis tak henti-hentinya. Aku berharap ia tetap hidup. Tapia pa hendak dikata. Nyawa telah dicabut oleh yang maha Kuasa. Aku hanya bisa menangis dan menangis dan menyesali semua yang terjadi.
Selang lima menit kemudian, banyak orang berdatangan karena mendengar ledakan keras barusan. Ketika id tanya aku tak bisa menjawab apa-apa. Mulutku serasa bisu. Akhirnya, mayat Sendy di bawa ke rumahnya dan diurus keluarganya untuk kemudian dimakamkan di pemakaman desa. Aku pulang bersama ayahku yang kebetulan datang juga. Ia mencoba menenangkanku sampai akhirnya aku bisa bicara kembali dan aku bisa menjelaskan semua yang telah terjadi.
Komentar
Posting Komentar
Komentarin ya! Saya seneng banget kalau dikomentarin. Terima Kasih :)