Hari-hari kujalani dengan
seperti biasa. Selalu di depan laptop mungil yang terbeli saat aku
menginjak semester dua dengan salon kecil yang melantunkan lagu-lagu
penyemangat, terlebih meja belajarku tetap dalam keadaan berantakan
kecuali dua hari ini. Semenjak selasa sore kemarin, hatiku tergerak
untuk mengakhiri keberantakan meja belajarku yang sudah berbulan-bulan
bak kapal pecah yang masuk dalam kamarku. Akhirnya, dengan segala
kemampuanku, perlahan tapi pasti, meja belajar dan lemariku kembali
tersusun rapi dengan format tatanan yang baru. Lebih nyaman dilihat dan
lebih menyamankanku saat berada di depan laptop mungilku.
Ada yang membuatku sedikit terperanjat saat membereskan kapal pecah dalam kamarku. Saat itu, aku menemukan selembar kertas agak kusut. Tergores di atasnya tulisan tangan alami dari seorang yang sangat tak asing bagiku. Aku tersadar, itu adalah tulisan cerpen perdana dan masih amatir sekali milik adik laki-laki ku. Namanya Ashja Sabira. Aku teringat, dua bulan yang lalu, aku memintanya untuk membuat tulisan apa saja karena kulihat aktivitasnya sangat tidak produktif. Jikalau di depan laptop setiap hari untuk belajar mengutak-atik komputer, aku memaklumi. Tapi yang ia lakukan hanya nge-game melulu. Pulang sekolah, pulang dari TPQ, bahkan malam hari sampai les yang haru ia ikuti luput dan terbengkalai. Alhasil, ia membolos les selama berbulan-bulan. Sebagai kakak, mataku sangat gatal melihat perilakunya yang menjadi-jadi. Daripada aku marah besar, aku minta dia untuk membuat cerpen atau puisi. Saat itu, aku memang memintanya untuk membuat puisi dengan iming-iming, jika puisinya bagus pasti akan mendapatkan hadiah berupa uang jutaan. Hahaha. Saat itu memang kebetulan ada lomba menulis untuk anak-anak. Jadi sekalian latihan untuknya. Adik perempuanku yang bungsu, Akhtar Razana, juga tak mau kalah dengan kakaknya. Dia ikut berkompetisi dalam latihan membuat puisi, terang saja karena kebetulan ia menguping iming-iming yang aku ucapkan. Biasa, anak kecil.
Dua puluh menit berlalu. Mereka berdua berlomba menuju meja belajarku untuk menyerahkan hasil tulisan mereka. Memang pada awalnya mereka bingung ingin menulis tentang apa. Sedikit kuinspirasi untuk menulis tentang keluarga saja. Lucunya, mereka benar-benar menulis tentang keluarga dengan segala keluguan dan kejujurannya. Dik Ashja menulis tentang Ibu dan Dik Tara (Akhtar) menulis tentang dik Ashja dengan judul “Kakakku yang Jahat”. Aku tertawa dalam hati hanya tak kutunjukkan. Mulutku hanya tersenyum. Namun, sekarang yang masih ada hanya tulisan milik dik Ashja dan lebih pantas untuk disebut cerita flash true fiction, bukan puisi. Berikut tulisannya….
Aku Sayang Ibu
Oleh : Ashja Sabira
Suatu hari aku mandi kemulian ibuku menangis suaranya sangat besar kemudian saya Berangkat sekolah setelah itu Aku pulang kemudian ibuku dibawa kerumah sakit 3 hari / 4 hari kemudia Aku sekolah itu membuat Es pasaku mengambi pisau dirumah adaa pa ini kemudian saudaraku Bertanya tidak ada apa2 kemudian aku kesolagi aku masih Bingung ada apa ini Setelah itu guruku mengajak ke kantor mengatakan ibuku telah meninggal aku sedi sekali terus Aku Dian tarka guruku dirumah kemudian aku pulang sampamenangi pashari juat alhadulilah ibuku meningga kusnul hutomah kemudian Aku sholat jumat dan sholat untuk senasah setelah itu senasapun dibawah kerumah setelah itu senasah ya itu dikubukan Diomah kampus di Dermo kemudian sudadi kuburkan kemudian semua pulang.
Sedikit mengharukan karena itu adalah cerita tentang kronologi meninggalnya ibuku. Sudah hamper setahun ibu mendahului kami. Padahal adik-adikku masih kecil, aku dan adik-adik perempuanku yang masih di pondok juga belum maksimal untuk melakukan hal terbaik bagi beliau. Saat mendengar kabar ibu meninggal, aku menjerit histeris. Terbayang dosa-dosaku yang belum terhapus dan segala hal yang kujanjikan untuk ibu namun belum terlaksanakan. Ak belum sempat menunjukkan prestasi-prestasiku di perguruan tinggi kepada beliau. Intinya, kami berlima (aku dan adik-adikku lima bersaudara) masih belum sempat membuat beliau tersenyum. Paling tidak, karena beliau sudah di alam kubur, kami akan berusaha membuat beliau tersenyum di alam kubur. Begitu pula Abo (Panggilan akrab kami untuk Ayah kami) yang sedihnya melebihi kesedihan kami saat ibu telah tiada. Jelas, Abo menunggui ibu di rumah sakit saat itu dan ketika ibu diambil oleh Allah, Abo juga ada di situ. Jika aku jadi beliau, mungkin aku telah menjerit-jerit histeris sampai tak tertolong kehisterisanku.
Diceritakan oleh adikku di dalam tulisannya bahwa suatu hari ia akan pergi ke sekolah dengan adik bungsu dan saat itu pula ia mendengar tangisan ibu dengan jeritan histeris. Abo berusaha menenangkan namun tak berhasil. Aku tak tahu apa-apa karena saat itu aku sedang mandi. Melihat waktu yang mepet, adik-adikku tetap berangkat meskipun sedikit khawatir dengan tangisan ibu barusan. Saat aku keluar, Abo memintaku untuk melihat ibu yang sedang menangis kesakitan. Aku sendiri kebingungan dan tak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada ibuku. Aku kembali ke kamar dan melanjutkan pengerjaan tugas di laptop mungilku. Setengah jam berlalu. Tangisan ibu semakin menjadi-jadi. Ibuku sejak pagi memang sudah terbaring di kasur. Abo memanggilku untuk membantu menenangkan ibu. Namun, ibu semakin mengerang kesakitan. Kami panik sepanik-paniknya. Yang bias kami lakukan hanya menenangkan ibu dan mengucapkan kalimat tasbih, takbir, istighfar agar ibu tak mengerang kesakitan. Tak lama kemudian, ibu terdiam. Ternyata beliau tak sadarkan diri. Kami semakin kebingungan. Spontan abo memintaku untuk memanggil nenek. Untunglah nenak rumahnya tetanggaan dengan kami.
Saat itu juga abo mengganti baju ibu karena basah oleh keringat dan segera kubuka pintu mobil serta membantu abo untuk membawa ibu ke mobil. Dirasa kurang kuat karena nenek juga sudah tua, datanglah Mas Andris, om ku yang kebetulan tinggal serumah dengan nenek. Mas Andris membantu kami membawa ibu ke mobil. Saat itu juga kami pergi ke rumah sakit terdekat. Tak terpikirkan oleh kami jika ada saudara yang memang bekerja di rumah sakit umum daerah dengan fasilitas yang lengkap karena saat itu memang panik sekali dan tujuan kami adalah menyelamatkan ibu di rumah sakit terdekat agar segera tertolong. Mas Andris mengunci pintu rumah dan menyusul dengan menggunakan motor.
Ibu ternyata mengalami pecah pembuluh darah di otak. Aku terkejut setengah mati. Terlebih abo yang terkejutnya pasti lebih dari aku. Namun, wajah beliau tetap berusaha untuk tenang. Pada akhirnya, ibuku kehabisan jatah rumah sakit karena rumah sakit yang kami datangi kurang dalam segi fasilitas sedangkan yang fasilitasnya lengkap sudah tak mampu lagi menerima pasien lantaran penuh oleh pasien JAMKESDA. Dalam hati aku tak terima. Segala cara ditempuh oleh Abo. Alhasil, Rumah Sakit yang jaraknya lumayan jauh mampu menerima dengan cara terpaksa. Meskipun begitu, aku bersyukur, masih ada tempat untuk ibuku. Hanya saja, di rumah sakit ini juga kurang mumpuni fasilitasnya sehingga harus pindah lagi ke Rumah Sakit dengan fasilitas lengkap dan memang ada saat itu (menerima pasien) karena sudah ada pasien yang pulang meskipun sebelumnya telah menjalani operasi dan sukses, terpaksa ibuku pindah lagi.
Di rumah sakit yang baru, ibuku diberi pelayanan lebih lanjut dan lebih baik. Aku tenang dan trenyuh saat melihat wajah ibu dari balik jendela kamar. Ibuku berada di ruang ICU dan tak bias diganggu kecuali jika keadaan darurat. Aku hanya bias berdoa untuk beliau. Sedangkan adik-adikku, aku lebih trenyuh lagi karena dari kelima bersaudara, hany aku yang tahu keadaan kritis beliau. Dik Ashja dan dik Tara hanya tahu jika Ibu berada di rumah sakit. Mereka tak tahu keadaan ibu yang sebenarnya. Terlebih adik-adik perempuanku yang masih di pondok. Mereka tak tahu apa-apa. Yang kuharapkan saat itu, semoga ibu lekas sembuh. Tiap hari aku ikut menemani ibu di rumah sakit, membaca doa untuk beliau dan pulang ke rumah di malam hari. Yang kurasakan di rumah saat itu adalah, aku sedikit merinding karena sendirian di rumah, ada yang mengatakan kalau ibuku meninggal dan yang mengatakan bukan manusia, tapi seperti terbisik dalam hati dan telinga. Entah apakah itu aku tak memahaminya. Adik-adik kecil tidur di rumah nenek.
Rabu pagi ibuku mengerang kesakitan dan tak sadarkan diri lalu kami membawa beliau ke rumah sakit, Jum’at pagi aku merasakan hal yang berbeda. Saat itu, sekitar pukul enam lebih sepuluh menit, abo meneleponku untuk segera memberitahu nenek bahwa ibu dalam keadaan kritis. Hanya saja aku mendapat firasat buruk dengan ucapan abo “keadaan kritis” itu. Aku sempat terpikir jika ibu sudah meninggal. Tapi, lebih baik aku melupakan hal itu. Kulihat matahari amat cerah. Semoga secerah harapan kami sekeluarga. Aku tak mau jika selama berhari-hari pengorbananku untuk tidak masuk kuliah jadi sia-sia, abo yang tak pernah mengunjungi percetakan selama berhari-hari dan jihad kami untuk membantu ibu agar kuat dan bias menemani keseharian kami tidak akan sia-sia. Ibu harus sembuh dan kuat.
Lantaran mempersiapkan sekolah adik-adik, aku belum sempat memberitahu nenek jika ibu dalam keadaan kritis. Lantas, abo meneleponku lagi dan memintaku untuk segera memberitahu nenek. Usai mengantarkan adik-adik ke sekolah meskipun jaraknya dekat, aku segera mempersiapkan diri untuk ke rumah sakit karena khawatir dengan keadaan ibu. Saat itu waktu menunjukkan pukul setengah delapan. Saat aku mandi, Mbak Ivana, istri Mas Andris meneleponku. Saat itu handphoneku terbawa ke kamar mandi karena memang terburu-buru. Entah ada perasaan aneh saat HP bordering. Aku sedikit gemetar saat mengangkatnya. Ternyata nomor nenek. Tapi saat kuangkat, MMbak Ivana yang berbicara. Mbak Ivana mengatakan kalau ibuku telah meninggal. Kurang yain dengan ucapan beliau, aku bertanya lagi. Mbak Ivana mengulangi ucapannya dan jelas, Mbak Ivana mengatakan kalau ibu memang meninggal sejak tadi pagi. Abo mengatakan jika ibu dalam keadaan kritis itu sesungguhnya ibu sudah meninggal. Benar sudah dugaanku. Perasaanku memnag tak bias dibohongi kalau tentang hal ini. Aku menjerit histeris di kamar mandi. Tetangga mampu mendengar suaraku saking kerasnya. Usai mandi, segera kuganti pakaian dan ke rumah nenek. Di sana, Mbak Ivana memberiku isyarat untuk diam saja karena nenek memang belum tahu jika ibuku meninggal.
Sebenarnya aku benci menceritakan hal ini. Aku sedih dan kembali mengingat saat aku melihat ibuku terbujur kaku dengan wajah berseri. Sudahlah… Tulisan adikku mengingatkanku akan hal ini. Di cerita, dik Ashja memang pulang sebentar untuk mengambil pisau karena kebetulan di sekolah sedang ada pelajaran membuat Es. Ia kebingungan karena di rumah, Mbak Ivana dengan ibu-ibu sekitar rumah sedang mempersiapkan sesuatu di rumah. Tapi Karena terburu-buru, ia segera kembali ke sekolah dengan pisau di tangannya meskipun masih diliputi rasa kebingungan. Barulah saat jenazah ibu tiba di rumah, Dik Ashja dipanggil ke kantor dan diberitahu jika ibu telah meninggal. Mungkin ia sedih namun dik ashja mampu menerima dengan lapang dada. Aku melihat ia pulang dengan diantar oleh salah seorang guru yaitu Bu Maskurniawati, dengan wajah sedih, tangan kanannya mengusap air mata. Ia sedikit tertawa karena dianggap memang orang-orang telah membohonginya. Memang seperti itu adikku jika pikirannya masih setengah percaya akan suatu hal. Namun, akhirnya ia tahu jika ibu telah meninggal. Ia melihat dengan mata kepala sendiri. Beda dengan dik Tara, si bungsu. Dik Tara sudah diminta pulang terlebih dahulu dan diamankan oleh saudara-saudara di dalam kamar sebelum jenazah ibu tiba. Karena jika dik Tara tahu pastinya lebih kacau nantinya.
Namun, muncul masalah baru. Adik-adikku yang masih di pondok bagaimana? Pondok mereka jauh di Ngawi sedangkan perjalanan dari Ngawi ke Malang adalah tujuh jam. Enam jam jika dengan kecepatan tinggi sedangkan Budhe menjemput adik-adikku dengan menempuh perjalanan tiga sampai lima jam. Apakah sempat adik-adikku untuk melihat ibu terakhir kalinya?
Lagi-lagi aku trenyuh bukan main. Kasihan sekali adik-adik perempuanku ini. Usai sholat Jum’at, Dik Ashja juga ikut Sholat Jum’at, Ibuku di Sholati di Masjid dekat rumah. Dik Ashja juga ikut. Lalu jenazah dibawa kembali ke rumah. Aku turut membawa jenazah ibu dengan keranda atau istilahnya kereto jowo sing rodone rodo menungso. Banyak orang bertanya kepadaku, mengapa jenazah tak segera dikuburkan? Spontan aku dan ayahku menjawab, kami masih menunggu adik yang dari pondok datang. Rencana habis Ashar dimakamkan.
Ashar berlalu. Adik-adik dan Budhe ku belum tiba juga. Saat kutelepon budhe, ternyata beliau masih di Madiun. Memang keputusan yang sulit. Tapi jika tidak segera dimakamkan, kasihan ibuku pula. Akhirnya, sore itu juga, kami meberangkatkan jenazah ibu ke pemakaman. Aku dan ayahku turut menurunkan jenazah beliau ke liang kubur. DIk Ashja hanya melihat dari kejauhan ditemani oleh Cak Hepi, Om ku. Teman-temanku sekelas ikut takziyah tapi hanya satu yang mengikuti kami sampai pemakaman karena memang aku meminjami motorku ke dia. Dia sahabatku dari Aceh, Abda Mahrul Fauza. Meskipun dia agak menjengkelkan tapi kami amat dekat dan sering berbagi pengalaman. Tak hanya itu, teman-temanku dari konsulat malang saat di pondok dulu, teman-teman pondok yang ada di UMM, teman kelas P2KK, terlebih teman-teman IMM juga datang. Apalagi teman-teman FDI juga datang untuk menghibur kami sekeluarga.
Malam hari tiba. Tepat pukul delapan malam, adik-adik perempuanku dan Budhe tiba di rumah. Adik-adikku kebingungan dan ada perasaan tak enak dalam benak mereka karena ada terop di depan rumah. Rumah juga tampak ramai. Mereka memang belum tahu kalau ibu meninggal karena saat izin di pondok untuk pulang, Budhe hanya mengatakan kalau ibu sakit keras. Mungkin Budhe mengatakan hal yang sebenarnya kepada Ustadzah Pengasuhan Santri sampai akhirnya adik-adikku diberi izin empat hari.
Setibanya di rumah, Budhe baru memberitahu mereka kalau ibu telah meninggal. Mereka berdua segera masuk rumah. “Bo, Aa ambek Iya wis teko”, ucap Dik Ashja kepada Abo. Spontan aku segera mendatangi mereka. Rahmi Rabbani (Dik Rara) dan Dhia Amira (Dik Mira) namanya. Mereka bertanya-tanya tentang kebenaran. Ku bawa mereka ke kamar terlebih dahulu. Abo memberitahu mereka yang sebenarnya dengan penuh keteduhan. Namun, hal itu tak mampu membendung ledakan tangis Dik Rara dan Dik Mira. Wajar, mereka tak tahu apa-apa tiba-tiba ibu sudah tiada dan tak sempat melihat untuk terakhir kalinya.
Semoga Ibu tenang di alam sana. Kami, aku, Abo dan Adik-adik serta saudara-saudara akan tetap mendoakan ibu dan berusaha agar ibu selalu tersenyum di alam kubur hingga hari akhir nanti. Aamiin.
lihat juga tulisan ini di catatan facebook saya
Ada yang membuatku sedikit terperanjat saat membereskan kapal pecah dalam kamarku. Saat itu, aku menemukan selembar kertas agak kusut. Tergores di atasnya tulisan tangan alami dari seorang yang sangat tak asing bagiku. Aku tersadar, itu adalah tulisan cerpen perdana dan masih amatir sekali milik adik laki-laki ku. Namanya Ashja Sabira. Aku teringat, dua bulan yang lalu, aku memintanya untuk membuat tulisan apa saja karena kulihat aktivitasnya sangat tidak produktif. Jikalau di depan laptop setiap hari untuk belajar mengutak-atik komputer, aku memaklumi. Tapi yang ia lakukan hanya nge-game melulu. Pulang sekolah, pulang dari TPQ, bahkan malam hari sampai les yang haru ia ikuti luput dan terbengkalai. Alhasil, ia membolos les selama berbulan-bulan. Sebagai kakak, mataku sangat gatal melihat perilakunya yang menjadi-jadi. Daripada aku marah besar, aku minta dia untuk membuat cerpen atau puisi. Saat itu, aku memang memintanya untuk membuat puisi dengan iming-iming, jika puisinya bagus pasti akan mendapatkan hadiah berupa uang jutaan. Hahaha. Saat itu memang kebetulan ada lomba menulis untuk anak-anak. Jadi sekalian latihan untuknya. Adik perempuanku yang bungsu, Akhtar Razana, juga tak mau kalah dengan kakaknya. Dia ikut berkompetisi dalam latihan membuat puisi, terang saja karena kebetulan ia menguping iming-iming yang aku ucapkan. Biasa, anak kecil.
Dua puluh menit berlalu. Mereka berdua berlomba menuju meja belajarku untuk menyerahkan hasil tulisan mereka. Memang pada awalnya mereka bingung ingin menulis tentang apa. Sedikit kuinspirasi untuk menulis tentang keluarga saja. Lucunya, mereka benar-benar menulis tentang keluarga dengan segala keluguan dan kejujurannya. Dik Ashja menulis tentang Ibu dan Dik Tara (Akhtar) menulis tentang dik Ashja dengan judul “Kakakku yang Jahat”. Aku tertawa dalam hati hanya tak kutunjukkan. Mulutku hanya tersenyum. Namun, sekarang yang masih ada hanya tulisan milik dik Ashja dan lebih pantas untuk disebut cerita flash true fiction, bukan puisi. Berikut tulisannya….
Aku Sayang Ibu
Oleh : Ashja Sabira
Suatu hari aku mandi kemulian ibuku menangis suaranya sangat besar kemudian saya Berangkat sekolah setelah itu Aku pulang kemudian ibuku dibawa kerumah sakit 3 hari / 4 hari kemudia Aku sekolah itu membuat Es pasaku mengambi pisau dirumah adaa pa ini kemudian saudaraku Bertanya tidak ada apa2 kemudian aku kesolagi aku masih Bingung ada apa ini Setelah itu guruku mengajak ke kantor mengatakan ibuku telah meninggal aku sedi sekali terus Aku Dian tarka guruku dirumah kemudian aku pulang sampamenangi pashari juat alhadulilah ibuku meningga kusnul hutomah kemudian Aku sholat jumat dan sholat untuk senasah setelah itu senasapun dibawah kerumah setelah itu senasah ya itu dikubukan Diomah kampus di Dermo kemudian sudadi kuburkan kemudian semua pulang.
Sedikit mengharukan karena itu adalah cerita tentang kronologi meninggalnya ibuku. Sudah hamper setahun ibu mendahului kami. Padahal adik-adikku masih kecil, aku dan adik-adik perempuanku yang masih di pondok juga belum maksimal untuk melakukan hal terbaik bagi beliau. Saat mendengar kabar ibu meninggal, aku menjerit histeris. Terbayang dosa-dosaku yang belum terhapus dan segala hal yang kujanjikan untuk ibu namun belum terlaksanakan. Ak belum sempat menunjukkan prestasi-prestasiku di perguruan tinggi kepada beliau. Intinya, kami berlima (aku dan adik-adikku lima bersaudara) masih belum sempat membuat beliau tersenyum. Paling tidak, karena beliau sudah di alam kubur, kami akan berusaha membuat beliau tersenyum di alam kubur. Begitu pula Abo (Panggilan akrab kami untuk Ayah kami) yang sedihnya melebihi kesedihan kami saat ibu telah tiada. Jelas, Abo menunggui ibu di rumah sakit saat itu dan ketika ibu diambil oleh Allah, Abo juga ada di situ. Jika aku jadi beliau, mungkin aku telah menjerit-jerit histeris sampai tak tertolong kehisterisanku.
Diceritakan oleh adikku di dalam tulisannya bahwa suatu hari ia akan pergi ke sekolah dengan adik bungsu dan saat itu pula ia mendengar tangisan ibu dengan jeritan histeris. Abo berusaha menenangkan namun tak berhasil. Aku tak tahu apa-apa karena saat itu aku sedang mandi. Melihat waktu yang mepet, adik-adikku tetap berangkat meskipun sedikit khawatir dengan tangisan ibu barusan. Saat aku keluar, Abo memintaku untuk melihat ibu yang sedang menangis kesakitan. Aku sendiri kebingungan dan tak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada ibuku. Aku kembali ke kamar dan melanjutkan pengerjaan tugas di laptop mungilku. Setengah jam berlalu. Tangisan ibu semakin menjadi-jadi. Ibuku sejak pagi memang sudah terbaring di kasur. Abo memanggilku untuk membantu menenangkan ibu. Namun, ibu semakin mengerang kesakitan. Kami panik sepanik-paniknya. Yang bias kami lakukan hanya menenangkan ibu dan mengucapkan kalimat tasbih, takbir, istighfar agar ibu tak mengerang kesakitan. Tak lama kemudian, ibu terdiam. Ternyata beliau tak sadarkan diri. Kami semakin kebingungan. Spontan abo memintaku untuk memanggil nenek. Untunglah nenak rumahnya tetanggaan dengan kami.
Saat itu juga abo mengganti baju ibu karena basah oleh keringat dan segera kubuka pintu mobil serta membantu abo untuk membawa ibu ke mobil. Dirasa kurang kuat karena nenek juga sudah tua, datanglah Mas Andris, om ku yang kebetulan tinggal serumah dengan nenek. Mas Andris membantu kami membawa ibu ke mobil. Saat itu juga kami pergi ke rumah sakit terdekat. Tak terpikirkan oleh kami jika ada saudara yang memang bekerja di rumah sakit umum daerah dengan fasilitas yang lengkap karena saat itu memang panik sekali dan tujuan kami adalah menyelamatkan ibu di rumah sakit terdekat agar segera tertolong. Mas Andris mengunci pintu rumah dan menyusul dengan menggunakan motor.
Ibu ternyata mengalami pecah pembuluh darah di otak. Aku terkejut setengah mati. Terlebih abo yang terkejutnya pasti lebih dari aku. Namun, wajah beliau tetap berusaha untuk tenang. Pada akhirnya, ibuku kehabisan jatah rumah sakit karena rumah sakit yang kami datangi kurang dalam segi fasilitas sedangkan yang fasilitasnya lengkap sudah tak mampu lagi menerima pasien lantaran penuh oleh pasien JAMKESDA. Dalam hati aku tak terima. Segala cara ditempuh oleh Abo. Alhasil, Rumah Sakit yang jaraknya lumayan jauh mampu menerima dengan cara terpaksa. Meskipun begitu, aku bersyukur, masih ada tempat untuk ibuku. Hanya saja, di rumah sakit ini juga kurang mumpuni fasilitasnya sehingga harus pindah lagi ke Rumah Sakit dengan fasilitas lengkap dan memang ada saat itu (menerima pasien) karena sudah ada pasien yang pulang meskipun sebelumnya telah menjalani operasi dan sukses, terpaksa ibuku pindah lagi.
Di rumah sakit yang baru, ibuku diberi pelayanan lebih lanjut dan lebih baik. Aku tenang dan trenyuh saat melihat wajah ibu dari balik jendela kamar. Ibuku berada di ruang ICU dan tak bias diganggu kecuali jika keadaan darurat. Aku hanya bias berdoa untuk beliau. Sedangkan adik-adikku, aku lebih trenyuh lagi karena dari kelima bersaudara, hany aku yang tahu keadaan kritis beliau. Dik Ashja dan dik Tara hanya tahu jika Ibu berada di rumah sakit. Mereka tak tahu keadaan ibu yang sebenarnya. Terlebih adik-adik perempuanku yang masih di pondok. Mereka tak tahu apa-apa. Yang kuharapkan saat itu, semoga ibu lekas sembuh. Tiap hari aku ikut menemani ibu di rumah sakit, membaca doa untuk beliau dan pulang ke rumah di malam hari. Yang kurasakan di rumah saat itu adalah, aku sedikit merinding karena sendirian di rumah, ada yang mengatakan kalau ibuku meninggal dan yang mengatakan bukan manusia, tapi seperti terbisik dalam hati dan telinga. Entah apakah itu aku tak memahaminya. Adik-adik kecil tidur di rumah nenek.
Rabu pagi ibuku mengerang kesakitan dan tak sadarkan diri lalu kami membawa beliau ke rumah sakit, Jum’at pagi aku merasakan hal yang berbeda. Saat itu, sekitar pukul enam lebih sepuluh menit, abo meneleponku untuk segera memberitahu nenek bahwa ibu dalam keadaan kritis. Hanya saja aku mendapat firasat buruk dengan ucapan abo “keadaan kritis” itu. Aku sempat terpikir jika ibu sudah meninggal. Tapi, lebih baik aku melupakan hal itu. Kulihat matahari amat cerah. Semoga secerah harapan kami sekeluarga. Aku tak mau jika selama berhari-hari pengorbananku untuk tidak masuk kuliah jadi sia-sia, abo yang tak pernah mengunjungi percetakan selama berhari-hari dan jihad kami untuk membantu ibu agar kuat dan bias menemani keseharian kami tidak akan sia-sia. Ibu harus sembuh dan kuat.
Lantaran mempersiapkan sekolah adik-adik, aku belum sempat memberitahu nenek jika ibu dalam keadaan kritis. Lantas, abo meneleponku lagi dan memintaku untuk segera memberitahu nenek. Usai mengantarkan adik-adik ke sekolah meskipun jaraknya dekat, aku segera mempersiapkan diri untuk ke rumah sakit karena khawatir dengan keadaan ibu. Saat itu waktu menunjukkan pukul setengah delapan. Saat aku mandi, Mbak Ivana, istri Mas Andris meneleponku. Saat itu handphoneku terbawa ke kamar mandi karena memang terburu-buru. Entah ada perasaan aneh saat HP bordering. Aku sedikit gemetar saat mengangkatnya. Ternyata nomor nenek. Tapi saat kuangkat, MMbak Ivana yang berbicara. Mbak Ivana mengatakan kalau ibuku telah meninggal. Kurang yain dengan ucapan beliau, aku bertanya lagi. Mbak Ivana mengulangi ucapannya dan jelas, Mbak Ivana mengatakan kalau ibu memang meninggal sejak tadi pagi. Abo mengatakan jika ibu dalam keadaan kritis itu sesungguhnya ibu sudah meninggal. Benar sudah dugaanku. Perasaanku memnag tak bias dibohongi kalau tentang hal ini. Aku menjerit histeris di kamar mandi. Tetangga mampu mendengar suaraku saking kerasnya. Usai mandi, segera kuganti pakaian dan ke rumah nenek. Di sana, Mbak Ivana memberiku isyarat untuk diam saja karena nenek memang belum tahu jika ibuku meninggal.
Sebenarnya aku benci menceritakan hal ini. Aku sedih dan kembali mengingat saat aku melihat ibuku terbujur kaku dengan wajah berseri. Sudahlah… Tulisan adikku mengingatkanku akan hal ini. Di cerita, dik Ashja memang pulang sebentar untuk mengambil pisau karena kebetulan di sekolah sedang ada pelajaran membuat Es. Ia kebingungan karena di rumah, Mbak Ivana dengan ibu-ibu sekitar rumah sedang mempersiapkan sesuatu di rumah. Tapi Karena terburu-buru, ia segera kembali ke sekolah dengan pisau di tangannya meskipun masih diliputi rasa kebingungan. Barulah saat jenazah ibu tiba di rumah, Dik Ashja dipanggil ke kantor dan diberitahu jika ibu telah meninggal. Mungkin ia sedih namun dik ashja mampu menerima dengan lapang dada. Aku melihat ia pulang dengan diantar oleh salah seorang guru yaitu Bu Maskurniawati, dengan wajah sedih, tangan kanannya mengusap air mata. Ia sedikit tertawa karena dianggap memang orang-orang telah membohonginya. Memang seperti itu adikku jika pikirannya masih setengah percaya akan suatu hal. Namun, akhirnya ia tahu jika ibu telah meninggal. Ia melihat dengan mata kepala sendiri. Beda dengan dik Tara, si bungsu. Dik Tara sudah diminta pulang terlebih dahulu dan diamankan oleh saudara-saudara di dalam kamar sebelum jenazah ibu tiba. Karena jika dik Tara tahu pastinya lebih kacau nantinya.
Namun, muncul masalah baru. Adik-adikku yang masih di pondok bagaimana? Pondok mereka jauh di Ngawi sedangkan perjalanan dari Ngawi ke Malang adalah tujuh jam. Enam jam jika dengan kecepatan tinggi sedangkan Budhe menjemput adik-adikku dengan menempuh perjalanan tiga sampai lima jam. Apakah sempat adik-adikku untuk melihat ibu terakhir kalinya?
Lagi-lagi aku trenyuh bukan main. Kasihan sekali adik-adik perempuanku ini. Usai sholat Jum’at, Dik Ashja juga ikut Sholat Jum’at, Ibuku di Sholati di Masjid dekat rumah. Dik Ashja juga ikut. Lalu jenazah dibawa kembali ke rumah. Aku turut membawa jenazah ibu dengan keranda atau istilahnya kereto jowo sing rodone rodo menungso. Banyak orang bertanya kepadaku, mengapa jenazah tak segera dikuburkan? Spontan aku dan ayahku menjawab, kami masih menunggu adik yang dari pondok datang. Rencana habis Ashar dimakamkan.
Ashar berlalu. Adik-adik dan Budhe ku belum tiba juga. Saat kutelepon budhe, ternyata beliau masih di Madiun. Memang keputusan yang sulit. Tapi jika tidak segera dimakamkan, kasihan ibuku pula. Akhirnya, sore itu juga, kami meberangkatkan jenazah ibu ke pemakaman. Aku dan ayahku turut menurunkan jenazah beliau ke liang kubur. DIk Ashja hanya melihat dari kejauhan ditemani oleh Cak Hepi, Om ku. Teman-temanku sekelas ikut takziyah tapi hanya satu yang mengikuti kami sampai pemakaman karena memang aku meminjami motorku ke dia. Dia sahabatku dari Aceh, Abda Mahrul Fauza. Meskipun dia agak menjengkelkan tapi kami amat dekat dan sering berbagi pengalaman. Tak hanya itu, teman-temanku dari konsulat malang saat di pondok dulu, teman-teman pondok yang ada di UMM, teman kelas P2KK, terlebih teman-teman IMM juga datang. Apalagi teman-teman FDI juga datang untuk menghibur kami sekeluarga.
Malam hari tiba. Tepat pukul delapan malam, adik-adik perempuanku dan Budhe tiba di rumah. Adik-adikku kebingungan dan ada perasaan tak enak dalam benak mereka karena ada terop di depan rumah. Rumah juga tampak ramai. Mereka memang belum tahu kalau ibu meninggal karena saat izin di pondok untuk pulang, Budhe hanya mengatakan kalau ibu sakit keras. Mungkin Budhe mengatakan hal yang sebenarnya kepada Ustadzah Pengasuhan Santri sampai akhirnya adik-adikku diberi izin empat hari.
Setibanya di rumah, Budhe baru memberitahu mereka kalau ibu telah meninggal. Mereka berdua segera masuk rumah. “Bo, Aa ambek Iya wis teko”, ucap Dik Ashja kepada Abo. Spontan aku segera mendatangi mereka. Rahmi Rabbani (Dik Rara) dan Dhia Amira (Dik Mira) namanya. Mereka bertanya-tanya tentang kebenaran. Ku bawa mereka ke kamar terlebih dahulu. Abo memberitahu mereka yang sebenarnya dengan penuh keteduhan. Namun, hal itu tak mampu membendung ledakan tangis Dik Rara dan Dik Mira. Wajar, mereka tak tahu apa-apa tiba-tiba ibu sudah tiada dan tak sempat melihat untuk terakhir kalinya.
Semoga Ibu tenang di alam sana. Kami, aku, Abo dan Adik-adik serta saudara-saudara akan tetap mendoakan ibu dan berusaha agar ibu selalu tersenyum di alam kubur hingga hari akhir nanti. Aamiin.
lihat juga tulisan ini di catatan facebook saya
Komentar
Posting Komentar
Komentarin ya! Saya seneng banget kalau dikomentarin. Terima Kasih :)